Cianjur ll Wartapolitan – Suasana Gedung LBH Cianjur, Jumat (19/9/2025) siang, menjadi saksi lahirnya desakan publik untuk mereformasi total sistem partai politik di Indonesia. Dalam diskusi bertajuk “PEMBUBARAN DPR: Perlukah Indonesia Tanpa Dewan Perwakilan Rakyat?”, para narasumber dan peserta sepakat bahwa akar persoalan kerapuhan demokrasi Indonesia bukan semata pada lembaga DPR, melainkan pada dominasi partai politik yang begitu besar dari hulu ke hilir.
Hadir sebagai pemantik diskusi, Dr. Dedi Mulyadi, Irvan Muchdar, O Suhendra, Asep Toha, dan Dian Rahadian memaparkan bahwa selama ini kekuasaan penuh partai politik telah menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta menjauhkan rakyat dari kedaulatan yang dijanjikan UUD 1945.
Dalam sesi tanya jawab, Erwin Andriawan menekankan perlunya “amputasi” peran dominan partai politik melalui revisi Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang MD3 (UU No.17/2014 jo UU No.13/2019). “Selama kendali penuh tetap di tangan elit partai, rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, tetapi kehilangan hak untuk mengevaluasi atau mencabut mandat wakilnya setelah itu,” ujarnya.
Policy Brief: Koreksi Demokrasi Setengah Hati
Diskusi juga melahirkan policy brief berjudul “Koreksi Demokrasi Setengah Hati: Merevisi UU MD3 Demi Kedaulatan Rakyat”. Dokumen ini menyoroti tiga persoalan utama:
Dominasi parpol dalam rekrutmen caleg dan pergantian antarwaktu (PAW) tanpa mekanisme partisipasi publik.
Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, sehingga akuntabilitas sosial melemah.
Celah politik uang dan patronase yang memperbesar praktik transaksional.
Policy brief tersebut merekomendasikan amandemen UU MD3, penerapan mekanisme recall oleh konstituen, transparansi digital proses PAW, serta penguatan fungsi DPD dan DPRD agar kedaulatan rakyat tidak hanya menjadi simbol.
Petisi Rakyat: Seruan Perubahan
Sebagai tindak lanjut, peserta diskusi menandatangani “Petisi Rakyat untuk Perbaikan Sistem Partai Politik di DPR & DPRD”. Petisi ini memuat lima tuntutan utama:
Reformasi sistem rekrutmen caleg secara terbuka berbasis integritas,
Transparansi dan akuntabilitas keuangan serta proses kaderisasi partai,
Penguatan kontrak politik dan mekanisme recall,
Larangan praktik oligarki dan dinasti kekuasaan,
Pembukaan ruang partisipasi publik dalam setiap proses legislasi.
“Demokrasi sejati hanya mungkin terwujud bila partai politik direformasi dan DPR/DPRD dikembalikan pada fungsi aslinya: sebagai wakil rakyat, bukan wakil partai,” demikian salah satu kutipan dalam petisi yang dibacakan perwakilan peserta sebelum ditandatangani bersama.
Dari Wacana ke Aksi
Direktur LBH Cianjur, Dini Diana Farida, menyebut petisi dan policy brief ini akan menjadi dokumen advokasi yang akan disampaikan kepada lembaga legislatif dan publik nasional. “Langkah ini menandai komitmen masyarakat sipil Cianjur bahwa kritik tidak berhenti pada wacana, tetapi diikuti langkah nyata untuk koreksi demokrasi,” tegasnya.
Dengan keluarnya policy brief dan petisi rakyat ini, diskusi publik di LBH Cianjur tidak hanya memantik perdebatan soal perlunya DPR, tetapi juga menggeser fokus pada reformasi sistem partai politik sebagai kunci perbaikan demokrasi Indonesia ke depan. (Tim )
0 Comments